Minggu, 08 Januari 2017

RENVOI dalam hukum perdata internasional



TUGAS RESUME
RENVOI

A.    Pengertian Renvoi
Renvoi sangat erat hubungannya dengan kualifikasi dan titik taut. Memang sebenarnya ketiga soal ini dapat mencakup dalam satu permasalahan, yaitu hukum manakah yang akan berlaku (lex cause) dalam suatu peristiwa Hukum Perdata Internasional. Renvoi timbul apabila hukum, asing yang ditunjuk oleh lex fori, menunjuk kembali ke arah lex fori itu, atau kepada sistim hukum asing lain.
Renvoi adalah penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori. Penunjuk kembali (Renvoi) merupakan salah satu pranata HPI tradisional yang terutama berkembang di dalam tradisi Civil Law (Hukum Eropa Kontinental) sebagai pranata yang dapat digunakan untuk menghindari pemberlakuan kaidah atau sistem hukum yang seharusnya berlaku (lex causae) yang sudah ditetapkan berdasarkan prosedur HPI yang normal. Pelaksanaan Renvoi ini pada dasarnya dimungkinkan karena adanya berbagai sistem hukum di dunia yang masing-masing memiliki sistem dan kaidah-kaidah HPI-nya sendiri.

B.     Perbedaan Pendapat Mengenai Adanya Renvoi
1.      Alasan Kontra Renvoi
Berkenaan dengan renvoi, tidak semua setuju dengan adanya renvoi dengan beberapa alasan, yaitu:
a.       Renvoi dianggap tidak logis.
Hal ini didasarkan pada suatu penunjukkan kembali secara terus menerus, maka yang ada adalah suatu permasalahan yang menggantung karena tidak ada pihak yang mau menanganinya dan terus saling melakukan suatu penunjukkan kembali. Pendapat yang menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang menerima atau yang menolak dua-duanya selogis mungkin. Dalam kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi/ penujukkan kembali.
b.      Renvoi merupakan penyerahan kedaulatan legislatif.
Menurut pandangan yang kontra dengan renvoi, menurut Cheshire dan Meyers, dengan adanya suatu renvoi, maka seolah-olah kaidah-kaidah hakim itu sendiri yang dikorbankan terhadap seuatu hukum asing yang kemudian dianggap berlaku. Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan alasan kaidah yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara asing, dengan arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk penggunaannya adalah sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung, yang berlaku adalah HPI negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.
c.       Renvoi membawa ketidak pastian hukum.
Jika renvoi diterima, maka yang ada kemudian adalah penyelesaian HPI itu yang samar-samar, tidak kokoh dan tidak stabil sebagai hukum. Akan tetapi menurut kubu yang pro renvoi mangatakan bahwa justru jika tidak ada renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.

2.      Alasan Pro Renvoi
Sementara itu, alasan-alasan yang digunakan oleh yang pro dengan adanya renvoi adalah sebagai berikut:
a.       Renvoi memberikan keuntungan praktis
Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern sendiri dari sang hakim yang akan digunakan dan tentunya hal ini akan memberikan keuntungan praktis bagi hakim.
b.      Jangan bersifat lebih raja dari pada raja itu sendiri
Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis dapat dihindari dan merupakan suatu penghormatan pada hukum asing yang bertautan dengan kasus yang ada.
c.       Keputusan-keputusan yang berbeda
Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam bentuk keputusan yan berbeda-beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum yang terkait.

Dari hal-hal yang telah disampaikan sebelumnya di atas perihal pro dan kontra pada renvoi, kita mendapati bahwa yang digunakan dalam menilai masalah renvoi ini adalah logika. Kita harus dapat melihatnya berdasarkan pada hukum positif dimana renvoi dipandang sebagai suatu bentuk dari apa yang dinamakan dengan pelembutan hukum, meskipun tidak ditemukan dalam suatu peraturan tertulis di Indonesia, renvoi diterima dalam kaidah hukum positif Indonesia secara nyata yang tercantum secara tidak langsung dalam pasal 16 sampai 18 AB.
Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Perkara orang Armenia Nasrani tahun 1928
2.      Perkara palisemen seorang British India tahun 1925

Renvoi juga diatur dalam konvensi-konvensi internasional meliputi :
1.      Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951
Tahun 1955 Diterima suatu konsep untuk mengatur “perselisihan” antara prinsip nasionalitas dan domisili yang lantas ditindak lanjuti pada tanggal 15 Juni 1955 dengan ditetapkannya konvensi yang bersangkutan. Pasal 1 mengatur bahwa apabila suatu negara di mana orang yang dipersoalkan menganut sistem domisili, memakai sistem nasionalitas sementara negara asal orang itu memakai sistem domisili, maka tiap negara peserta menggunakan Sachornen daripada domisili.
2.      Persetujuan hukum uniform HPI negara-negara Benelux 1951
Persetujuan itu dilakukan antara negara Belgia, Belanda dan Luxemburg. Dalam pasal 1-nya ditentukan bahwa renvoi tidak dapat diterima. Jika tidak ditentukan berlainan, maka dalam persetujuan tersebut diartikan dengan istilah hukum intern daripadanya dan bukan HPI-nya.

C.     Penggunaan Renvoi dalam HPI
Menurut Cheshire, doktrin renvoi ini tidak dapat digunakan disemua jenis perkara HPI, terutama dalam perkara-perkara yang sedikit banyak berkaitan dengan transaksi-transaksi bisnis, dan setiap tindakan pilihan hukum dalam transaksi-transaksi seperti itu pasti akan dimaksudkan sebagai penunjukan kearah hukum intern (Sachnormenverweisung). Di dalam pasal 15 dari Konvensi Roma (1980 yang mengikat semua negara anggota Masyarakat Eropa, misalnya, Renvoi tegas-tegas ditolak.
Masalah-masalah HPI yang jika dimungkinkan masih dapat diselesaikan dengan menggunakan doktrin Renvoi adalah masalah validitas pewarisan (testamenter atau intestatis), tuntutan-tuntutan atas benda-benda tetap di negara asing, perkara-perkara yang menyangkut benda bergerak, dan masalah-masalah hukum keluarga (perkawinan, akibat perkawinan, harta perkawinan, status personal, dan sebagainya).
Dalam HPI tradisional, orang mengenal dua jenis single-renvoi :
1.      Remission ( Penunjukkan kembali, Ruckverweisung, Tutugverwijzing ), yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing kembali kearah lex fori.
2.      Transmission (Penunjukan lebih lanjut, Weiterverweisung, Verderverwijzing), yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing kearah suatu sistem hukum asing lain.

Bila pranata renvoi yang dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya dipahami sebagai renvoi yang berkembang di Eropa Kontinental dan dikenal sebagai pranata Single Renvoi, maka dalam sistem hukum Inggris berkembang pula sejenis renvoi yang diberi nama The Foreign Court Theory. Pengadilan di Inggris pada dasarnya menolak pelaksanaan doktrin single-renvoi dalam penyelesaian perkara-perkara HPI. Namun demikian, dalam beberapa perkara tampak adanya kebutuhan bagi sistem peradilan HPI Inggris untuk mengenyampingkan berlakunya lex causae dengan menggunakan pola pikir yang mirip renvoi.




1 komentar: