Minggu, 08 Januari 2017

kode etik gadai tanah dalam ekonomi syariah



CODE ETIK GADAI TANAH




NAMA                        : INDRA ALAM MUZZAKIR
NIM                            : D1A 014 137
MATA KULIAH       : EKONOMI SYARIAH




FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2016


CODE ETIK DALAM GADAI TANAH

A.    Pengertian Gadai
Makna gadai secara etimologi / bahasa adalah “tertahan” sebagai mana dalam satu ayat al-Qur’an:
“Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggungjawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al-Muddatstsir : 38)
Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli fiqh: “Haram bagai seseorang kencing di air yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak”
Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”.
Hakikat transaksi gadai adalah utang piutang. Hanya saja, orang yang berutang (debitor) menyerahkan agunan sebagai jaminan kepercayaan. Sehingga sertifikat yang diserahkan, sama sekali tidak menunjukkan perpindahan kepemilikan sementara selama utang belum dilunasi. Artinya, sawah itu masih tetap milik petani 100%, meskipun sertifikat tanahnya ada di tangan kreditor.
Allah berfirman: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang agunan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…” (QS. Al-Baqarah: 283)
Bertransaksi tidak secara tunai menunjukkan masih menyisakan utang. Untuk jaminan kepercayaan, Allah syariatkan adanya barang agunan dari yang berutang, diserahkan kepada yang berpiutang (kreditur).
Dalam pasal 1150 KUH Perdata disebutkan bahwa gadai adalah hak yang diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang.
Sifat-Sifat Gadai:
                    1.            Gadai adalah untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
                    2.            Gadai bersifat accesoir, yang dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai debitor itu lalai membayar utangnya kembali.
                    3.            Adanya sifat kebendaan.
                    4.            Syarat inbezitztelling, artinya benda gadai harus keluar dari kekuasaan pemberi gadai.
                    5.            Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri.
                    6.            Hak preferensi (Hak untuk didahulukan).
                    7.            Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi ( tidak akan menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari utang)

B.     Subyek dan Obyek dalam Gadai Tanah
1.      Subyek
Yang menjadi subyek adalah:
a.       Penerima gadai (Murtahin), karena hakikat gadai adalah hutang piutang maka biasanya disebut Debitur.
b.      Pemberi gadai (Rahin) dan menjadi pemegang tanah gadai tersebut, biasanya disebut Kreditur.
2.      Obyek
Obyek dalam gadai tanah adalah Tanah yang digadaikan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai.
Didalam perjanjian gadai objek-objek gadai menurut hukum perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan tersebut di dalam hukum perdata mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas sebagaimana diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
b.      Si berpiutang yang memegang gadai menuntut haknya untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu pembuktian pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut "Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok".
c.       Objeknya adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud.
d.      Hak gadai merupakan hak yang dilakukan atas pembayaran dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
e.       Benda yang dijadikan objek gadai merupakan benda yang tidak dalam sengketa dan bermasalah.
f.       Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai
g.      Semua barang bergerak dapat diterima sebagai jaminan sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.

C.     Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai dan Penerima Gadai dalam Gadai Tanah
                           1.          Hak dan Kewajiban pihak Penerima Gadai (Murtahin)
a.       Hak Murtahin ( Penerima Gadai ) :
1)      Pemegang gadai berhak menjual tanah apabila pemberi gadai tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan barang gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman dan sisanya dikembalikan kepada pemberi gadai.
2)      Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan tanah.
3)      Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan tanah yang diserahkan oleh pemberi gadai.
b.      Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah :
1)      Penerima gadai bertanggung jawab atas tanah, apabila tanah itu rusak dan sebagainya disebabkan oleh kelalaiannya.
2)      Penerima gadai tidak boleh menggunakan tanah untuk kepentingan sendiri.
3)      Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan terhadap tanah yang digadaikan oleh pemberi gadai.


                           2.          Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
a.       Hak pemberi gadai adalah:
1)      Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali tanah, setelah ia melunasi pinjaman.
2)      Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan tanah, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima gadai.
3)      Pembari gadai berhak menerima sisa hasil tanah setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
4)      Pemberi gadai berhak meminta kembali tanah, apabila penerima gadai diketahui menyalahgunakan tanah tersebut.
b.      Kewajiban pembari gadai:
1)      Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
2)      Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas tanah miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi pinjamannya.

D.    Berakhirnya Gadai Tanah
Berakhirnya gadai tanah apabila:
1.      Sudah dilunasi
2.      Karena musnahnya tanah
3.      Karena pelaksanaan eksekusi
4.      Karena pemegang gadai telah melepaskan hak gadai secara sukarela
5.      Karena pemegang gadai telah kehilangan kekuasaan atas tanah
6.      Karena penyalahgunaan terhadap tanah oleh penerima gadai

E.     Sanksi dalam Gadai Tanah
Pasal 1200-1206 KUH Perdata berhubungan dengan hak-hak dan kewajiban dari pemegang gadai yang dapat dibela dalam hak dan kewajiban yang ada selama adanya hak gadai dan hak beserta kewajiban yang berhubungan dengan pengambilan pelunasan yang dapat dilakukan oleh pemegang gadai atas benda yang digadaikan (tanah) dalam wanprestasi dari pemberi gadai. Hak gadai antara lain bahwa kreditur atau pemegang gadai memiliki wewenang untuk melakukan penjualan atas kuasa sendiri benda yang digadaikan. Apabila debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya. Pada umumnya kreditur dapat menguatkan benda yang digadaikan tersebut untuk mengambil pelunasan uang pokok, bunga dan biaya-biaya tanpa diharuskan untuk melaporkan debitur ke pengadilan. Dalam hal ini, ia terikat pada ketentuan untuk memperhatikan beberapa aturan yang dicantumkan dalam pasal 1201 KUH Perdata.
Dari hal tersebut perlu kita ketahui bahwa bagaimanapun juga tidak boleh terjadi dalam hal debitur melakukan wanprestasi. Dari pihak pemberi gadai dapatlah si pemegang gadai, berdasarkan pasal 1201 dan dengan mengindahkan formalitas-formalitas yang harus ada dalam pasal-pasal tersebut menyuruh agar tanah tersebut dijual. Disamping itu pasal 1201 KUH Perdata memberikan kepadanya hak untuk berhubungan dengan hakim dan untuk menuntut agar hakim menemukan suatu cara tertentu bagi penjualan tanah yang digadaikan tersebut. Agar hakim menyetujui benda-benda yang digadaikan diterima oleh si pemegang gadai sebagai pembayar untuk sejumlah uang tertentu, jumlahnya akan ditetapkan oleh hakim.
Jika para pihak pada saat mengadakan perjanjian gadai sudah menghendaki untuk mengadakan peraturan tentang cara memperjuangkan benda yang digadaikan dalam hal demikianlah Hoge Raad (1 April 1927), tidak dibenarkan pemberian wewenang untuk pengambilan pelunasan dengan penjualan dibawah tangan, tetapi tidak dibolehkan ialah menentukan bahwa si pemegang gadai hanya atau dapat menempuh cara bertindak sebagaimana ditentukan dalam pasa 1203 KUH Perdata. Sesudah perjanjian benda yang digadaikan, penerima gadai wajib untuk mempertanggungjawabkan hasil (pengurangan) kepada pemberi gadai. Dalam hal kepailitan pemegang gadai Hoge Raad mengemukakan bahwa suatu penetapan pasal 1202 KUH Perdata belum membuktikan adanya hak gadai, sebab piutang yang bersangkutan tidak ditujukan pada sebuah penetapan pengadilan mengenai adanya hak gadai (Ares. H. R. 25 Januari 1934).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar