NAMA: INDRA ALAM MUZZAKIR
NIM: D1A 014 137
PROGRAM
STUDI S1 ILMU HUKUM REGULER PAGI
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
MATARAM
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia
merupakan sebuah negara yang memiliki ragam budaya, suku, etnis, agama, ras,
dan beragam golongan.Hal tersebut terlihat dalam semboyan Bhinneka Tunggal
Ika yang secara de facto mencerminkan ragam budaya bangsa namun
berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang
terbentang luas dari Sabang sampai ke Merauke ini memiliki sumber daya alam (natural
resources) yang melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga
sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam
bentuknya.Secara teori adanya ragam budaya tersebut dapat menjadi potensi
budaya sebagai cerminan jati diri bangsa. Demikian juga secara historis,
keberadaan ragam budaya tersebut juga telah menjadi salah satu unsur penting
yang menentukan dalam proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, ragam budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan
kekuatan budaya (cultural power) yang sangat potensial dalam
menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dilihat
dari aspek lain, keberadaan ragam budaya dapat juga berpotensi menimbulkan
konflik yang jutsru dapat mengancam integrasi bangsa. Hal tersebut karena
konflik yang melibatkan antar budaya dapat menimbulkan pertikaian antar etnis,
antar penganut agama, ras maupun antar golongan yang sangat berpotensi
menyebabkan dis-integrasi bangsa. Dilihat dari perspektif antropologi, konflik
merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,
terlebih lagi dalam masyarakat yang memiliki ragam bentuk budaya. Selain itu,
konflik juga merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan
bersama.
Perspektif
antropologi hukum memandang bahwa fenomena
konflik dapat muncul karena adanya konflik nilai, konflik norma dan/atau
konflik kepentingan antar komunitas etnis, agama dan golongan dalam masyarakat.
Terkadang konflik juga dapat disebabkan sebagai akibat dari diskriminasi produk
kebijakan pemerintah pusat terhadap masyarakat di daerah dengan mengabaikan,
menghapuskan dan melemahkan nilai-nilai dan norma-norma hukum adat termasuk
norma agama dan tradisi-tradisi masyarakat di daerah tersebut melalui dominasi
dan pemberlakuan hukum negara (state law). Di dalam
amandemen kedua UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) telah ditegaskan bahwa
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Di Indonesia,
pada setiap komunitas masyarakat diberbagai penjuru pulau menunjukan bahwa
masyarakat lokal (adat) pada hakikatnya selalu memiliki kearifan budaya (local
values) dalam menyelesaikan konflik, seperti ketika terjadi konflik
domestik horizontal di tengah-tengah mereka. Masyarakat memiliki versi dan
polanya sendiri dalam mengelola dan menyelesaikan konflik di samping versi dan
pola yang dibuat oleh pemerintah (negara). Masyarakat juga memiliki social
capital yang berpengaruh pada terciptanya harmonisasi kehidupan masyarakat.
Secara umum kearifan budaya dan modal sosial lokal tersebut memiliki kelebihan
dibandingkan modal sosial modern (pemerintah atau negara). Bahkan ada
kecenderungan resolusi negara atau pemerintah yang berbentuk litigasi terkadang
kurang menyentuh rasa keadilan masyarakat sehingga mengakibatkan konflik
cenderung berulang, sebaliknya jika pendekatan yang digunakan berpijak pada
kearifan lokal akan membuat masyarakat lebih merasa tentram sehingga konflik
dapat berkurang intensitasnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari konflik menurut
para ahli dalam bidang antropologi hukum?
2. Apa sajakah faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik?
3. Apa saja fungsi dan akibat dari
adanya konflik?
4. Apa sajakah jenis konflik dan
cara-cara penyelesaian konflik secara umum dalam masyarakat?
C. Tujuan
Tujuannya adalah mengetahui apa itu
konflik, sebab terjadinya konflik, fungsi dan akibat dari adanya konflik, jenis
serta cara penyelesaian konflik dalam perspektif antopologi hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Konflik
Konfik
secara etimologi berasal dari kata kerja latin configere
yang berarti saling memukul. Secara terminologi dalam sudut pandang Antropologi,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik merupakan suatu gejala yang umumnya muncul sebagai
akibat dari interaksi manusia dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul
ketika terjadi persaingan baik individu maupun kelompok. Konflik juga bisa
dipicu karena adanya perbedaan pendapat antara komponen-komponen yang ada di
dalam masyarakat membuatnya saling mempertahankan ego dan memicu timbulnya
pertentangan. Bukan hanya di masyarakat konflik juga bisa terjadi di satuan
kelompok masyarakat terkecil, keluarga, seperti konflik antar saudara atau
suami-istri.
Beberapa pengertian konflik atau definisi konflik yang dikeluarkan oleh
beberapa ahli. Antara lain:
1. Dr. Robert M.Z. Lawang, mengatakan bahwa konflik adalah perjuangan untuk
memperoleh nilai, status, kekuasaan, dimana tujuan dari mereka yang berkonflik,
tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
2. Soejono Soekanto, konflik adalah proses sosial dimana orang atau kelompok berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai ancaman dan
kekerasan.
3. Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang
boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan
ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih
pihak secara berterusan.
4. Pace & Faules, Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu
dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan.
Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau
lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami.
B. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik
Adapun beberapa faktor
terjadinya konflik antara lain:
1. Perbedaan individu, yang meliputi
perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik.
Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu
dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau
lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab
dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman,
tentu perasaan setiap warganya akan berbeda. Ada yang merasa terganggu karena
berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan
sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan
pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu
yang dapat memicu konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara
individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun
latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang
bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk
tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam
hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan
budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan
tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai
penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha
kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang
dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian
dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Disini jelas terlihat ada
perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga
akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan
kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan
individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah
yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat
dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
C. Fungsi dan Akibat Konflik
Achmad Fedyani Saifudin (1986)
menyebutkan fungsi konflik sebagai berikut:
1.
Konflik berfungsi mencegah dan mempertahankan
identitas dan batas-batas kelompok sosial dan masyarakat.
2.
Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah
belah dan menegakkan kembali persatuan. Konflik dapat meredakan ketegangan
antara pihak-pihak yang bertentangan sehingga dengan demikian dapat pula
dikatakan bahwa konflik berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial.
3.
Konflik suatu kelompok dengan kelompok lain menghasilkan
mobilisasi energi para anggota kelompok yang bersangkutan sehingga kohesi
setiap kelompok ditingkatkan.
4.
Konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang
baru diantara pihak-pihak bertentangan yang sebelumnya tidak ada. Konflik
berlaku sebagai rangsangan untuk menciptakan aturan-aturan dan sistem norma
yang baru, yang mampu mengatur pihak-pihak yang bertentangan sehingga
keteraturan sosial kembali terwujud.
5.
Konflik dapat mempersatukan orang-orang atau
kelompok-kelompok yang tadinya tidak saling berhubungan. Koalisi dan organisasi
dapat timbul dimana kepentingan pragmatik utama dan pelakunya terlibat.
Selain
terdapat fungsi, terdapat juga hasil dari sebuah konflik (akibat konflik),
sebagai berikut :
1.
Meningkatkan
solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan
kelompok lain.
2.
Keretakan
hubungan antar kelompok yang bertikai.
3.
Perubahan
kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga
dll.
4.
Kerusakan
harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
5.
Dominasi
bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para
pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi;
pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan
pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
-
Pengertian
yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk
mencari jalan keluar yang terbaik.
-
Pengertian
yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk
“memenangkan” konflik. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan
menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
D. Jenis Konflik dan Proses Penyelesaiannya
Menurut Dahrendorf, konflik
dibedakan menjadi 6
macam :
1.
Konflik
antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan
dalam keluarga atau profesi.
2.
Konflik
antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
3.
Konflik
kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
4.
Konflik
antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
5.
Konflik
antar atau tidak antar agama.
6.
Konflik
antar politik.
Model-model
penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat sederhana maupun modern
adalah sebagai berikut :
1.
Membiarkan
saja (lumping it), salah satu pihak tidak menanggapi keluhan, gugatan, tuntutan
pihak lain atau mengabaikan konflik yang terjadi dengan pihak lain
2.
Menghindar
(avoidance), salah satu pihak menghindari konflik karena tidak berdaya atau
untuk menjaga hubungan dengan pihak lain.
3.
Kekerasan
(coersion), penyelesaian dengan mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan,
seperti melakukan tindakan hukum sendiri (self-helf atau eigenrichting) atau
bentuk perang antar suku (warfare).
4.
Negosiasi,
melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang berkonflik.
5.
Mediasi,
melalui kesepakatan antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak ketiga (mediator
dalam penyelesaian konflik, walau hanya berfungsi sebatas perantara yang
bersifat pasif, karena inisiatif untuk mengambil keputusan tetap didasarkan
pada kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik.
6.
Arbitrase,
melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut arbitrator
sebagai wasit yang memberi keputusan dan keputusan tersebut harus ditaati dan
dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
7.
Ajudikasi,
melalui institusi pengadilan yang keputusannya mengikat para pihak. Sistem
nilai, norma, politik, ekonomi, dan keyakinan sangat mempengaruhi pilihan
bentuk institusi dan model-model penyelesaian konflik dalam masyarakat.
Institusi penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat paling tidak ada 2
macam , yaitu:
a) Institusi tradisional (folk
institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang masih sederhana dan subsisten,
di mana relasi antar individu, hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat,
maka maksud penyelesaian sengketa adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis
dalam masyarakat.
b) Institusi negara (state
institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang sudah kompleks dan modern,
di mana relasi sosial lebih bersifat individualistik, berorientasi pada ekonomi
pasar, maka maksud penyelesaian sengketa dengan mengacu pada hukum negara yang
legalistik.
Daniel
S.Lev, dari Amerika Serikat (1972) pernah melakukan penelitian mengenai budaya
hukum penyelesaian sengketa masyarakat pedesaan di Jawa dan Bali menyimpulkan
sebagai berikut :
1.
Dalam
kehidupan sosial sebagai besar masyarakat Indonesia cenderung untuk menghindari
konflik dengan siapapun, karena nilai-nilai pergaulan sosial yang dianut lebih
bersifat personal, komunal, mengutamakan solidaritas, dan bernuansa magis. Oleh
karena itu jika terjadi konflik, cenderung diselesaikan melalui prosedur
kompromi, konsiliasi, mengutamakan pendekatan personal dan kekerabatan.
2.
Konflik
antar individu sedapat mungkin dihindari, dan kalaupun harus terjadi cenderung
ditutupi dengan gaya yang halus, tidak merusak hubungan/pergaulan sosial, tidak
menjatuhkan martabat/derajat pihak yang diajak konflik.
3.
Fokus
penyelesaian konflik bukan pada penerapan peraturan hukum, tetapi lebih pada
upaya pelenyapan konflik yang menjadi sumber ketegangan sosial.
4.
Makna
penyelesaian konflik bukan pada persoalan kalah-menang (win-lose solution),
tetapi menjadi kewajiban para pihak untuk menghentikan perselisihan dan
meniadakan ketegangan sosial yang telah terjadi. Oleh karena itu yang
diutamakan bukan penyelesaian substansi konflik tetapi lebih pada prosedur
penyelesaian konflik.
5.
Para
pihak yang berkonflik lebih melihat pihak ketiga (petugas hukum) dari pada
peraturan-peraturan hukum yang mengatur penyelesaian sengketanya. Oleh karena
itu petugas hukum ditaati masyarakat bukan karena alasan yang berkaitan dengan
masalah kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konfik secara etimologi berasal dari
kata kerja latin configere yang berarti
saling memukul. Secara terminologi dalam sudut pandang Antropologi, konflik
diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik merupakan suatu gejala yang umumnya muncul sebagai
akibat dari interaksi manusia dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul
ketika terjadi persaingan baik individu maupun kelompok. Konflik juga bisa
dipicu karena adanya perbedaan pendapat antara komponen-komponen yang ada di
dalam masyarakat membuatnya saling mempertahankan ego dan memicu timbulnya
pertentangan. Bukan hanya di masyarakat konflik juga bisa terjadi di satuan
kelompok masyarakat terkecil, keluarga, seperti konflik antar saudara atau
suami-istri.
Model-model
penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat sederhana maupun modern
adalah sebagai berikut :
1. Membiarkan saja (lumping it)
2. Menghindar (avoidance)
3. Kekerasan (coersion)
4. Negosiasi
5. Mediasi,
6. Arbitrase
7. Ajudikasi
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini
bisa bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya Fakultas Hukum Universitas
Mataram dan umumnya bagi semua masyarakat yang ingin tahu tentang konflik dan
budaya penyelesaian sengketa dalam masyarakat perspektif antropologi hukum.
DAFTAR PUSTAKA
id.wikipedia.org/wiki/Konflik
Dadang Supardan.PENGANTAR ILMU SOSIAL
Sebuah Kajian Pendekatan Struktural (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)hal: 126
Ritzer, G. dan
Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003. Hal 45
Prof.Dr.Damsar. Pengantar Sosiologi Politik.
(Jakarta: Predana Media Group.2010)hal.68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar