Minggu, 08 Januari 2017

Konflik dalam perspektif antropologi



 
NAMA: INDRA ALAM MUZZAKIR
NIM: D1A 014 137


PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM REGULER PAGI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki ragam budaya, suku, etnis, agama, ras, dan beragam golongan.Hal tersebut terlihat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang secara de facto mencerminkan ragam budaya bangsa namun berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang terbentang luas dari Sabang sampai ke Merauke ini memiliki sumber daya alam (natural resources) yang melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam bentuknya.Secara teori adanya ragam budaya tersebut dapat menjadi potensi budaya sebagai cerminan jati diri bangsa. Demikian juga secara historis, keberadaan ragam budaya tersebut juga telah menjadi salah satu unsur penting yang menentukan dalam proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, ragam budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang sangat potensial dalam menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dilihat dari aspek lain, keberadaan ragam budaya dapat juga berpotensi menimbulkan konflik yang jutsru dapat mengancam integrasi bangsa. Hal tersebut karena konflik yang melibatkan antar budaya dapat menimbulkan pertikaian antar etnis, antar penganut agama, ras maupun antar golongan yang sangat berpotensi menyebabkan dis-integrasi bangsa. Dilihat dari perspektif antropologi, konflik merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, terlebih lagi dalam masyarakat yang memiliki ragam bentuk budaya. Selain itu, konflik juga merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bersama.
Perspektif antropologi hukum memandang bahwa fenomena konflik dapat muncul karena adanya konflik nilai, konflik norma dan/atau konflik kepentingan antar komunitas etnis, agama dan golongan dalam masyarakat. Terkadang konflik juga dapat disebabkan sebagai akibat dari diskriminasi produk kebijakan pemerintah pusat terhadap masyarakat di daerah dengan mengabaikan, menghapuskan dan melemahkan nilai-nilai dan norma-norma hukum adat termasuk norma agama dan tradisi-tradisi masyarakat di daerah tersebut melalui dominasi dan pemberlakuan hukum negara (state law). Di dalam amandemen kedua UUD 1945  Pasal 18 B ayat (2) telah ditegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Di Indonesia, pada setiap komunitas masyarakat diberbagai penjuru pulau menunjukan bahwa masyarakat lokal (adat) pada hakikatnya selalu memiliki  kearifan budaya (local values) dalam menyelesaikan konflik, seperti ketika terjadi konflik domestik horizontal di tengah-tengah mereka. Masyarakat memiliki versi dan polanya sendiri dalam mengelola dan menyelesaikan konflik di samping versi dan pola yang dibuat oleh pemerintah (negara). Masyarakat juga memiliki social capital yang berpengaruh pada terciptanya harmonisasi kehidupan masyarakat. Secara umum kearifan budaya dan modal sosial lokal tersebut memiliki kelebihan dibandingkan modal sosial modern (pemerintah atau negara). Bahkan ada kecenderungan resolusi negara atau pemerintah yang berbentuk litigasi terkadang kurang menyentuh rasa keadilan masyarakat sehingga mengakibatkan konflik cenderung berulang, sebaliknya jika pendekatan yang digunakan berpijak pada kearifan lokal akan membuat masyarakat lebih merasa tentram sehingga konflik dapat berkurang intensitasnya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari konflik menurut para ahli dalam bidang antropologi hukum?
2.      Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik?
3.      Apa saja fungsi dan akibat dari adanya konflik?
4.      Apa sajakah jenis konflik dan cara-cara penyelesaian konflik secara umum dalam masyarakat?

C.     Tujuan
Tujuannya adalah mengetahui apa itu konflik, sebab terjadinya konflik, fungsi dan akibat dari adanya konflik, jenis serta cara penyelesaian konflik dalam perspektif antopologi hukum.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Konflik
Konfik secara etimologi berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara terminologi dalam sudut pandang Antropologi, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik merupakan suatu gejala yang umumnya muncul sebagai akibat dari interaksi manusia dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul ketika terjadi persaingan baik individu maupun kelompok. Konflik juga bisa dipicu karena adanya perbedaan pendapat antara komponen-komponen yang ada di dalam masyarakat membuatnya saling mempertahankan ego dan memicu timbulnya pertentangan. Bukan hanya di masyarakat konflik juga bisa terjadi di satuan kelompok masyarakat terkecil, keluarga, seperti konflik antar saudara atau suami-istri.
Beberapa pengertian konflik atau definisi konflik yang dikeluarkan oleh beberapa ahli. Antara lain:
1.      Dr. Robert M.Z. Lawang, mengatakan bahwa konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, dimana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
2.      Soejono Soekanto, konflik adalah proses sosial dimana orang atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai ancaman dan kekerasan.
3.      Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
4.      Pace & Faules, Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami.

B.     Faktor-Faktor Terjadinya Konflik
Adapun beberapa faktor terjadinya konflik antara lain:
1.      Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.      Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3.      Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Disini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
4.      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

C.     Fungsi dan Akibat Konflik
Achmad Fedyani Saifudin (1986) menyebutkan fungsi konflik sebagai berikut:
1.      Konflik berfungsi mencegah dan mempertahankan identitas dan batas-batas kelompok sosial dan masyarakat. 
2.      Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah dan menegakkan kembali persatuan. Konflik dapat meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan sehingga dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa konflik berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial. 
3.      Konflik suatu kelompok dengan kelompok lain menghasilkan mobilisasi energi para anggota kelompok yang bersangkutan sehingga kohesi setiap kelompok ditingkatkan. 
4.      Konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru diantara pihak-pihak bertentangan yang sebelumnya tidak ada. Konflik berlaku sebagai rangsangan untuk menciptakan aturan-aturan dan sistem norma yang baru, yang mampu mengatur pihak-pihak yang bertentangan sehingga keteraturan sosial kembali terwujud. 
5.      Konflik dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya tidak saling berhubungan. Koalisi dan organisasi dapat timbul dimana kepentingan pragmatik utama dan pelakunya terlibat.
Selain terdapat fungsi, terdapat juga hasil dari sebuah konflik (akibat konflik), sebagai berikut :
                  1.          Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
                  2.          Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
                  3.          Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
                  4.          Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
                  5.          Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
-          Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
-          Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.

D.    Jenis Konflik dan Proses Penyelesaiannya
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 6 macam :
1.      Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi.
2.      Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
3.      Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
4.      Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
5.      Konflik antar atau tidak antar agama.
6.      Konflik antar politik.
Model-model penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat sederhana maupun modern adalah sebagai berikut :
1.      Membiarkan saja (lumping it), salah satu pihak tidak menanggapi keluhan, gugatan, tuntutan pihak lain atau mengabaikan konflik yang terjadi dengan pihak lain
2.      Menghindar (avoidance), salah satu pihak menghindari konflik karena tidak berdaya atau untuk menjaga hubungan dengan pihak lain.
3.      Kekerasan (coersion), penyelesaian dengan mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan, seperti melakukan tindakan hukum sendiri (self-helf atau eigenrichting) atau bentuk perang antar suku (warfare).
4.      Negosiasi, melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang berkonflik.
5.      Mediasi, melalui kesepakatan antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak ketiga (mediator dalam penyelesaian konflik, walau hanya berfungsi sebatas perantara yang bersifat pasif, karena inisiatif untuk mengambil keputusan tetap didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik.
6.      Arbitrase, melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut arbitrator sebagai wasit yang memberi keputusan dan keputusan tersebut harus ditaati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
7.      Ajudikasi, melalui institusi pengadilan yang keputusannya mengikat para pihak. Sistem nilai, norma, politik, ekonomi, dan keyakinan sangat mempengaruhi pilihan bentuk institusi dan model-model penyelesaian konflik dalam masyarakat. Institusi penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat paling tidak ada 2 macam , yaitu:
a)      Institusi tradisional (folk institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang masih sederhana dan subsisten, di mana relasi antar individu, hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka maksud penyelesaian sengketa adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis dalam masyarakat.
b)      Institusi negara (state institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang sudah kompleks dan modern, di mana relasi sosial lebih bersifat individualistik, berorientasi pada ekonomi pasar, maka maksud penyelesaian sengketa dengan mengacu pada hukum negara yang legalistik.
Daniel S.Lev, dari Amerika Serikat (1972) pernah melakukan penelitian mengenai budaya hukum penyelesaian sengketa masyarakat pedesaan di Jawa dan Bali menyimpulkan sebagai berikut :
1.      Dalam kehidupan sosial sebagai besar masyarakat Indonesia cenderung untuk menghindari konflik dengan siapapun, karena nilai-nilai pergaulan sosial yang dianut lebih bersifat personal, komunal, mengutamakan solidaritas, dan bernuansa magis. Oleh karena itu jika terjadi konflik, cenderung diselesaikan melalui prosedur kompromi, konsiliasi, mengutamakan pendekatan personal dan kekerabatan.
2.      Konflik antar individu sedapat mungkin dihindari, dan kalaupun harus terjadi cenderung ditutupi dengan gaya yang halus, tidak merusak hubungan/pergaulan sosial, tidak menjatuhkan martabat/derajat pihak yang diajak konflik.
3.      Fokus penyelesaian konflik bukan pada penerapan peraturan hukum, tetapi lebih pada upaya pelenyapan konflik yang menjadi sumber ketegangan sosial.
4.      Makna penyelesaian konflik bukan pada persoalan kalah-menang (win-lose solution), tetapi menjadi kewajiban para pihak untuk menghentikan perselisihan dan meniadakan ketegangan sosial yang telah terjadi. Oleh karena itu yang diutamakan bukan penyelesaian substansi konflik tetapi lebih pada prosedur penyelesaian konflik.
5.      Para pihak yang berkonflik lebih melihat pihak ketiga (petugas hukum) dari pada peraturan-peraturan hukum yang mengatur penyelesaian sengketanya. Oleh karena itu petugas hukum ditaati masyarakat bukan karena alasan yang berkaitan dengan masalah kepatuhan masyarakat terhadap hukum.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Konfik secara etimologi berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara terminologi dalam sudut pandang Antropologi, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik merupakan suatu gejala yang umumnya muncul sebagai akibat dari interaksi manusia dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul ketika terjadi persaingan baik individu maupun kelompok. Konflik juga bisa dipicu karena adanya perbedaan pendapat antara komponen-komponen yang ada di dalam masyarakat membuatnya saling mempertahankan ego dan memicu timbulnya pertentangan. Bukan hanya di masyarakat konflik juga bisa terjadi di satuan kelompok masyarakat terkecil, keluarga, seperti konflik antar saudara atau suami-istri.
Model-model penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat sederhana maupun modern adalah sebagai berikut :
1.      Membiarkan saja (lumping it)
2.      Menghindar (avoidance)
3.      Kekerasan (coersion)
4.      Negosiasi
5.      Mediasi,
6.      Arbitrase
7.      Ajudikasi

B.     Saran
Semoga dengan adanya makalah ini bisa bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya Fakultas Hukum Universitas Mataram dan umumnya bagi semua masyarakat yang ingin tahu tentang konflik dan budaya penyelesaian sengketa dalam masyarakat perspektif antropologi hukum.


DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org/wiki/Konflik


Dadang Supardan.PENGANTAR ILMU SOSIAL Sebuah Kajian Pendekatan Struktural (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)hal: 126

Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003. Hal 45


Prof.Dr.Damsar. Pengantar Sosiologi Politik. (Jakarta: Predana Media Group.2010)hal.68







Tidak ada komentar:

Posting Komentar