TUGAS
TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU OLEH MAHKAMAH
KONSTITUSI
NAMA : INDRA
ALAM MUZZAKIR
NIM :
D1A 014 137
DOSEN : DR. EKO CRISDIANTO EKO PURNOMO S.H.,
M.H.,
PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM REGULER PAGI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2016
TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU OLEH MAHKAMAH
KONSTITUSI
Sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum sebagaimana
yang terjadi dalam praktik pemilu di Indonesia, pada dasarnya merupakan
sengketa hukum (rechtsstrijd). Secara teoretikal, sengketa hukum (rechtsstrijd)
sekaligus pula merupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd). Dalil ini
melandasi pemikiran, bahwa tiap aturan hukum yang dirumuskan secara umum
didasarkan pada suatu tindakan menimbang-nimbang (afweging, penimbangan)
kepentingan individual dan/atau kolektif. Dalil ini antara lain dipertahankan
oleh pengikut-pengikut dari suatu aliran penting dalam Teori Hukum, yakni
Interessenjurisprudenz. Menurut pandangan aliran ini, dengan aturan-aturan
hukum, kepentingan-kepentingan dilindungi. Pada ketidakjelasan dalam hubungan
dengan penerapan aturan-aturan hukum terhadap sengketa-sengketa konkret, maka
hakim karena itu akan harus menelusuri apa yang menjadi kepentingan-kepentingan
di situ. Bila berdasarkan metode interpretasi teleologikal sudah dipastikan,
bahwa kaidah hukum yang bersangkutan hanya mengabdi satu tujuan atau
kepentingan tunggal, atau bahwa harus dipandang hanya satu tujuan atau
kepentingan yang mempunyai makna yang menentukan (doorslaggevende betekenis),
maka, jika penerapan dari kaidah hukum dalam suatu kejadian konkret mengabdi
kepentingan yang dimaksudkan mau dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum itu,
aturan itu juga akan selalu diterapkan. Namun dapat terjadi, ada sebuah kaidah
tunggal yang mengabdi pada beberapa kepentingan yang berbeda, dan tidak jelas
kepentingan mana yang mengatasi yang lainnya (atau yang harus didahulukan
ketimbang yang lain, prevaleert), atau bahwa beberapa kaidah hukum dapat
diterapkan pada suatu kejadian konkret, yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan yang berbeda. Maka timbullah pertanyaan
kepentingan-kepentingan yang mana itu dan bagaimana kepentingan-kepentingan
tersebut harus saling dipertimbangkan yang satu terhadap yang lain.
Pertanyaannya adalah apakah suatu tindakan menimbang-nimbang secara rasional
(rationele afweging) mungkin dan apakah hal menimbang-nimbang ini dapat
dikontrol. Hakim sayogianya berusaha dengan cara berargumentasi membuat agar
hal menimbang-nimbang itu dapat dipahami (inzichtelijk maken). Dari praktik
hukum tampak kadang-kadang secara eksplisit hakim menimbang-nimbang
kepentingan-kepentingan. Orang mengatakan juga bahwa hakim melakukan hal ini
dengan bantuan apa yang disebut dengan metode timbangan (weegschaal methode).
Argumen yang diajukan untuk membela suatu kepentingan tertentu dan
argumen-argumen yang diajukan untuk melawan kepentingan-kepentingan tertentu,
atau argumen-argumen yang mendukung satu kepentingan atau kepentingan yang
lain, diletakkan pada timbangan. Argumen-argumen itu akan mendorong jarum penunjuk
kesatu sisi tertentu. Sebagai bagian dari sengketa kepentingan (belangenstrijd),
perselisihan hasil pemilu dalam hukum positif Indonesia dapat diselesaikan
secara yudisial di bawah kekuasaan peradilan. Peradilan yang bertugas untuk
menyelesaikan sengketa atau perselisihan hasil pemilu di Indonesia merupakan peradilan
kontensius contentieuze atau eigenlijke rechtspraak, atau yuridiksi kontensius
(contentieuze jurisdictie), bukan peradilan volunter (voluntaire jurisdictie).
Sistem peradilan ini menghasilkan keputusan yudisial yang disebut dengan
vonnis. Sedangkan peradilan volunter menghasilkan keputusan yudisial yang disebut
dengan ketetapan/penetapan. Peradilan perselisihan hasil pemilu di Indonesia
sebagai peradilan kontentius merupakan peradilan yang menurut hukum positif
Indonesia berada di bawah kompetensi Mahkamah Konstitusi, terutama semenjak
tahun 2008, pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) melalui Pasal 236C
perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengatur, bahwa :
”penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama sejak UU ini diundangkan”.
”penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama sejak UU ini diundangkan”.
Oleh karena ketentuan itulah, maka kemudian pada 29 Oktober
2008 Mahkamah Agung secara resmi menyerahkan perkara pemilu yang sedang
ditanganinya. Dalam serah terima tersebut, juga disepakati bahwa
perkara-perkara yang sudah terlanjur disidangkan oleh Mahkamah Agung tetap
dilanjutkan. Untuk melengkapi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang
telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 15
Tahun 2008 yang mengatur tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, terkait dengan penyelesaian
secara yudisial terhadap perkara-perkara perselisihan hasil pemilu ini, ada 2
(dua) peraturan yang mengatur tentang Hukum Acara yang menjadi landasan
hukumnya, yaitu :
1. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi ini merupakan Hukum Acara yang bersifat umum (lex
generalis); dan
2. Hukum Acara Penyelesaian
Perselisihan Pemilu sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008. Hukum
Acara ini merupakan Hukum Acara yang bersifat khusus (lex specialis).
Menurut Utrecht, hukum acara atau hukum formil itu menunjuk
cara bagaimana peraturan-peraturan hukum materiil dipertahankan dan
diselenggarakan. Hukum acara menunjuk cara bagaimana perkara diselesaikan di
muka hakim atau alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan perselisihan
hukum. Dalam kepustakaan hukum, hukum acara itu dikenal pula dengan istilah
hukum ajektifa (adjectiva law) sebagai pasangan dari hukum substantif
(substantive law).
Di dalam Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu
telah diatur beberapa ketentuan yang mengatur tentang cara atau mekanisme dalam
beracara, diantaranya adalah :
1.
ketentuan
tentang Para Pihak dan Objek Perselisihan;
2.
ketentuan
tentang tata cara pengajuan permohonan;
3.
ketentuan
tentang registrasi perkara dan penjadwalan sidang;
4.
ketentuan
tentang persidangan;
5.
ketentuan
tentang alat bukti;
6.
ketentuan
tentang Rapat Permusyawaratan Hakim; dan
7.
ketentuan
tentang putusan.
1)
PARA PIHAK DAN OBJEK PERSELISIHAN
Para pihak
yang dimaksud di sini adalah para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam
perselisihan hasil pemilu, yaitu pasangan calon sebagai pihak Pemohon, dan
KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai pihak Termohon. Pemohon
adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk
mengajukan permohonannya kepada Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat
tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum
untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara hukumnya. Dengan perkataan lain,
pemohon diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar-benar memiliki legal
standing atau kedudukan hukum, sehingga permohonan yang diajukannya dapat
diperiksa, diadili, dan diputus sebagaimana mestinya oleh Mahkamah Konstitusi.
Legal standing-personae standi in judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan – standing to sue. Doktrin yang dikenal di Amerika Serikat tentang standing to sue adalah, bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar memperoleh putusan akhir dari pengadilan. Persyaratan standing dikatakan telah dipenuhi jika dapat dikatakan bahwa Penggugat atau Pemohon mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 dengan nampaknya sudah dengan sangat jelas menentukan bahwa para pihak yang memiliki legal standing adalah : Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai Pemohon, dan KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota sebagai Termohon. Sedangkan, Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilu. Lazimnya dalam praktik Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi memeriksa tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Legal standing-personae standi in judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan – standing to sue. Doktrin yang dikenal di Amerika Serikat tentang standing to sue adalah, bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar memperoleh putusan akhir dari pengadilan. Persyaratan standing dikatakan telah dipenuhi jika dapat dikatakan bahwa Penggugat atau Pemohon mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 dengan nampaknya sudah dengan sangat jelas menentukan bahwa para pihak yang memiliki legal standing adalah : Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai Pemohon, dan KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota sebagai Termohon. Sedangkan, Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilu. Lazimnya dalam praktik Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi memeriksa tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Contoh
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan
Hasil Pemilukada Jawa Timur. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menilai,
bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena :
a. Pemohon adalah pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah, yang oleh Termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum
Provinsi Jawa Timur, telah ditetapkan sebagai Nomor Urut Satu;
b. Permohonan yang diajukan Pemohon
adalah keberatan terhadap Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun
2008;
c. Menurut Pemohon hasil rekapitulasi
perhitungan suara yang dilakukan oleh Termohon dengan hasil sebagaimana
disebutkan terjadi karena terdapat kekeliruan penghitungan dan pelanggaran yang
dilakukan oleh Termohon.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut.
2)
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
Hukum
Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu sebagaimana diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 menentukan, bahwa permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan suara Pemilu diajukan oleh Pemohon kepada Mahkamah
Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Termohon (KPU) menetapkan
hasil penghitungan suara Pemilu di daerah yang bersangkutan. Permohonan yang
diajukan setelah melewati tenggat sebagaimana dimaksud tidak dapat
diregistrasi.
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon. Permohonan itu juga harus memuat sekurang-kurangnya:
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon. Permohonan itu juga harus memuat sekurang-kurangnya:
a. Identitas lengkap Pemohon yang
dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan bukti sebagai peserta Pemilukada,
b. Uraian yang jelas mengenai:
ü Kesalahan hasil penghitungan suara
yang ditetapkan oleh Termohon;
ü Permintaan/petitum untuk membatalkan
hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
ü Permintaan/petitum untuk menetapkan
hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon. Permohonan tersebut
diajukan disertai alat bukti.
3)
REGISTRASI PERKARA DAN PENJADWALAN
SIDANG
Apabila
permohonan yang diajukan oleh Pemohon itu sudah memenuhi persyaratan dan
kelengkapan permohonan, maka selanjutnya Panitera mencatat permohonan yang
sudah memenuhi syarat dan lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
Dalam hal permohonan belum memenuhi syarat dan belum lengkap, Pemohon dapat
melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat mengajukan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
15 Tahun 2008. Setelah semua diperbaiki, Panitera mengirim salinan permohonan
yang sudah diregistrasi kepada Termohon, disertai dengan pemberitahuan hari
sidang pertama dan permintaan keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti
hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Penentuan hari sidang pertama
dan pemberitahuan kepada pihak-pihak ini dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja sejak permohonan tersebut diregistrasi.
4)
PERSIDANGAN
Sidang
untuk memeriksa permohonan dapat dilakukan oleh Panel Hakim dengan
sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang hakim konstitusi atau Pleno
Hakim dengan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi. Proses
pemeriksaan persidangan di Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a. Penjelasan permohonan dan perbaikan
bila dipandang perlu;
b. Jawaban Termohon;
c. Keterangan pihak terkait apabila
ada;
d. Pembuktian oleh Pemohon, Termohon
dan Pihak Terkait; dan
e. Kesimpulan.
Untuk
kepentingan pembuktian, Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pemeriksaan melalui
persidangan jarak jauh (video conference). Selain itu, untuk kepentingan
pemeriksaan, Mahkamah Konstitusi juga dapat menetapkan putusan sela atau
putusan provisi (provisionele vonnis) yang terkait dengan penghitungan suara
ulang. Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan
akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
berkaitan dengan objek yang dipersengketakan (objectum litis) yang hasilnya
akan dipertimbangkan dalam putusan akhir.
5)
ALAT BUKTI
Pembuktian
merupakan kegiatan yang amat penting sekali dalam rangkaian kegiatan memeriksa,
mengadili dan memutuskan suatu perkara hukum. Oleh karena itu hampir di setiap
Hukum Acara apapun, ketentuan tentang pembuktian ini selalu diatur. Dalam Hukum
Acara, biasanya aspek pembuktian terkait dengan alat-alat bukti. Alat bukti
dalam perselisihan hasil Pemilukada dapat berupa:
a. Keterangan para pihak;
b. Surat atau tulisan;
c. Keterangan saksi;
d. Keterangan ahli;
e. Petunjuk; dan
f. Alat bukti lain berupa informasi dan/atau
komunikasi elektronik.
Alat
bukti surat atau tulisan terdiri atas:
a. berita acara dan salinan pengumuman
hasil pemungutan suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS),
b. berita acara dan salinan sertifikat
hasil penghitungan suara dari Panitia Pemungutan Suara (PPS),
c. berita acara dan salinan
rekapitulasi jumlah suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK),
d. berita acara dan salinan
rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota,
e. berita acara dan salinan penetapan
hasil penghitungan suara pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah provinsi
atau kabupaten/kota,
f. berita acara dan salinan
rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau
kabupaten/kota, dan/atau dokumen tertulis lainnya.
Alat bukti sebagaimana dimaksud di
atas adalah alat bukti yang terkait langsung dengan objek perselisihan hasil
Pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah. Alat bukti tersebut dibubuhi materai
secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan
tersebut secara jelas dapat dilihat pada Pasal 10 PMK Nomor 15 Tahun 2008. Sebagai
salah satu unsur dalam alat bukti, saksi dalam perselisihan hasil pemilu
terdiri dari:
a. saksi resmi pemilu; dan
b. saksi pemantau pemilu.
Berkiatan
dengan saksi ini, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil saksi lain yang
diperlukan, antara lain: panitia pengawas Pemilihan Umum atau Kepolisian. Saksi
tersebut adalah saksi yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri proses
penghitungan suara yang diperselisihkan.
6)
RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM
Rapat
Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah
pemeriksaan persidangan dipandang cukup. Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan
secara tertutup oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi.
Pengambilan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan dengan
musyawarah untuk mufakat. Dalam hal musyawarah tersebut tidak mencapai mufakat
bulat, pengambilan putusan diambil dengan suara terbanyak. Dalam hal pengambilan
putusan dengan suara terbanyak itu ternyata tidak tercapai, maka suara terakhir
Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim yang menentukan.
7)
PUTUSAN
Putusan
mengenai perselisihan hasil Pemilu diucapkan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan dalam
Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
orang hakim konstitusi. Sementara Amar Putusan dapat menyatakan:
a.
permohonan
tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 PMK Nomor 15
Tahun 2008;
b.
permohonan
dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah
menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP
kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
Mahkamah;
c.
permohonan
ditolak bila permohonan tidak beralasan.
Seperti halnya pada putusan atas
perkara yang lain yang menjadi kewenangannya, maka putusan Mahkamah Konstitusi
atas perkara perselisihan hasil pemilu ini bersifat final dan mengikat (final
and binding). Putusan Mahkamah Konstitusi itu kemudian disampaikan kepada
Pemohon, Termohon, DPRD setempat, pemerintah dan pihak Terkait, serta terhadap
KPU/KIP kabupaten/kota, DPRD setempat, dan pemerintah wajib menindaklanjuti
Putusan Mahkamah Konstitusi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar